GoCSRKaltim – Aksi penambangan liar kembali menjadi sorotan publik setelah terungkapnya aktivitas tambang ilegal di kawasan Hutan Pendidikan Universitas Mulawarman (Unmul), Samarinda, Kalimantan Timur. Peristiwa ini mencuat ke publik saat lima unit alat berat terekam beroperasi di wilayah konservasi pada masa libur Lebaran 2025.
Area yang semestinya dimanfaatkan untuk penelitian ilmiah dan pelestarian ekosistem itu justru dirusak oleh aktivitas tambang tak berizin. Hal ini memunculkan kembali kekhawatiran tentang lemahnya pengawasan dan penegakan hukum terhadap pelanggaran lingkungan di Bumi Etam.
Kasus ini menjadi satu dari sekian banyak catatan kelam soal penambangan tanpa izin (Peti) di Kalimantan Timur. Di tengah gencarnya kampanye pembangunan hijau dan keberlanjutan sumber daya alam, praktik tambang ilegal justru terus meluas, merusak hutan, mengancam kualitas air, dan membahayakan kehidupan masyarakat di sekitar lokasi tambang.
Kaltim dikenal sebagai provinsi yang kaya akan hasil tambang seperti batu bara, minyak bumi, dan mineral logam. Namun, di balik kekayaan itu tersembunyi krisis ekologis akibat tambang ilegal yang merajalela. Tak hanya dilakukan oleh oknum individu, sebagian di antaranya bahkan melibatkan jaringan terorganisir.
Dampak Nyata: Lingkungan Rusak, Nyawa Melayang
Data Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Kalimantan Timur hingga pertengahan 2024 mencatat terdapat sedikitnya 168 titik tambang ilegal yang tersebar di beberapa wilayah. Kabupaten Kutai Kartanegara menempati posisi tertinggi dengan 111 titik, disusul Samarinda 29 titik, dan Berau 10 titik.
Lebih tragis lagi, sepanjang 2011 hingga 2024, tercatat 51 korban meninggal dunia akibat tenggelam di lubang bekas tambang yang terbengkalai, mayoritas adalah anak-anak. Fakta ini menjadi bukti nyata bahwa lubang tambang bukan sekadar jejak kerusakan, tetapi juga ancaman nyawa.
Di saat pemerintah mengklaim telah melakukan reklamasi, kenyataan di lapangan menunjukkan hal sebaliknya. Misalnya, reklamasi 19 hektare di Samboja dianggap tidak sebanding dengan total 44.736 lubang tambang yang tersebar di seluruh Kalimantan Timur, menjadikannya daerah dengan jumlah lubang tambang terbanyak secara nasional.
Lemahnya Penegakan Hukum dan Pengawasan
Kepolisian Daerah Kalimantan Timur mencatat terdapat 32 kasus tambang ilegal yang tengah dalam proses hukum hingga akhir 2024. Namun, jumlah ini masih sangat kecil dibandingkan dengan ratusan lokasi tambang liar yang terus beroperasi secara terang-terangan.
Ironisnya, tak sedikit perusahaan tambang legal pun diduga abai dalam menjalankan kewajiban reklamasi dan pascatambang. Padahal, sesuai Pasal 161B Undang-Undang Minerba, pelanggaran tersebut bisa dikenakan sanksi pidana hingga lima tahun penjara dan denda mencapai Rp100 miliar.
Aktivitas truk pengangkut batu bara yang melintasi jalan-jalan umum di wilayah seperti Tenggarong dan Kutai Barat juga semakin memicu keresahan warga. Selain merusak infrastruktur jalan, kehadiran truk-truk ini kerap membahayakan pengguna jalan lain.
Seruan untuk Bertindak: Kolaborasi dan Komitmen Bersama
Tingginya angka tambang ilegal di Kalimantan Timur seharusnya menjadi panggilan bagi semua pihak—pemerintah, aparat penegak hukum, akademisi, masyarakat sipil, dan media—untuk bersatu mengatasi krisis ini. Upaya pemberantasan tambang ilegal harus dilakukan secara komprehensif, tidak hanya menindak pelaku, tetapi juga memperbaiki sistem perizinan dan memperkuat pengawasan di lapangan.
Pemerintah perlu hadir sebagai garda terdepan dalam penyelamatan lingkungan, dengan melibatkan partisipasi masyarakat lokal serta memfasilitasi pelaporan kasus tambang ilegal melalui kanal yang transparan dan akuntabel.
Kerusakan lingkungan akibat tambang ilegal bukan hanya masalah hari ini, tetapi ancaman serius bagi masa depan Kalimantan Timur dan generasi mendatang. (NHW)




Discussion about this post