GoCSRKaltim – Beberapa waktu ini, pemadangan antrean kendaraan roda empat hingga kendaraan roda dua di sejumlah titik SPBU seakan menjadi lumrah di 10 kabupaten dan kota di Kalimantan Timur (Kaltim). Terutama di 3 kota besar seperti Balikpapan, Samarinda, dan Kutai Kartanegara (Kukar).
Bahkan di Samarinda, pemerintah kota (pemkot) harus mengeluarkan Surat Edaran pembatasan jam pembelian BBM jenis Pertalite. Sementara di Kukar, antrean di sejumlah SPBU berimbas pada kenaikan harga Pertalite eceran di toko kelontong. Dari yang awalnya Rp 12 ribu per botol menjadi Rp 13 ribu per botol. Begitupun harga Pertamax yang ikut-ikutan naik dari Rp 15 ribu menjadi Rp 16 ribu per botolnya.
Saat dihubungi, Area Manager Communication & CSR Pertamina Regional Kalimantan, Arya Yusa D, mengatakan sejumlah faktor yang menyebabkan Pertalite seolah-olah sulit didapatkan di SPBU. Hingga sebabkan antrean yang mengular.
Yakni, adanya disparitas harga antara BBM jenis Pertalite (BBM subsidi) dengan Pertamax. Di mana Pertalite dipatok Rp 10 ribu per liternya, sementara Pertamax dipatok Rp 13.950 per liternya. Ada jarak harga hampir menyentuh angka Rp 4 ribu per liternya. Sehingga masyarakat banyak memilih untuk beralih ke Pertalite yang lebih murah ketimbang Pertamax.
Minimnya jumlah SPBU yang ada di Kaltim, turut dianggap menjadi “biang kerok” Pertalite tiba-tiba sulit didapatkan. Seperti di Tenggarong saja, hanya ada sekitar 5 SPBU yang tersedia. 3 SPBU di seputaran Kelurahan Timbau, 1 SPBU di Kelurahan Mangkurawang dan 1 SPBU di Kelurahan Loa Tebu.
Berbicara secara global di Kalimantan, Kaltim masih dibawah Kalimantan Barat (Kalbar) dan Kalimantan Selatan (Kalsel). Yakni 87 unit SPBU reguler, 74 unit SPBU non reguler dan 7 unit SPBU nelayan.
Padahal berdasarkan data yang didapat, dari total kuota Kaltim sebanyak 689 ribu Kiloliter (KL) Pertalite, Kukar mendapatkan 136.429 KL Pertalite. Dan masih ada kuota 10 persen di tahun 2023 yang belum tersalurkan.
“Investor kurang tertarik menanamkan modal untuk membangun SPBU,” ujar Arya, Rabu (13/12/2023).
Faktor lainnya, maraknya pengetap yang menjual kembali Pertalite secara eceran. Dengan mengambil untung dari selisih harga di SPBU resmi dan harga eceran yang dijual ke masyarakat. Apalagi Arya mengatakan, banyak pengetap yang kini beralih menggunakan mobil pribadi untuk menjalankan aksinya. Praktis, SPBU mengklaim sulit untuk mendeteksi para pengetap.
“Jadi sekarang pakai kendaraan pribadi jadi memang sekarang gak pakai jeriken, jadi gak bisa terdeteksi,” lanjutnya.
Fenomena menjamurnya penjual Pertalite eceran pun tidak bisa ditindaklanjuti oleh Pertamina. Karena dikatakan Arya, menjadi wewenang dari pemerintah daerah (pemda) dan para penegak hukum. Di mana penjualan secara eceran selain tidak dibenarkan, juga merupakan tindak lanjut dari aktivitas pengetap.
“Pertamini dan eceran itu wewenangnya ke pemda dan penegak hukum untuk menindaknya. Karena Pertamini bukan rantai bisnis dari Pertamina,” tutup Arya.
Disadur dari Media Kaltim
Discussion about this post