GoCSRKaltim – Kebijakan pemerintah yang sempat melarang penjualan gas elpiji 3 kg di pedagang eceran per 1 Februari 2025 menimbulkan kepanikan di masyarakat. Di berbagai daerah, termasuk Samarinda, kelangkaan gas bersubsidi ini menyebabkan harga meroket hingga Rp 50 ribu per tabung di tingkat pengecer.
Meskipun Presiden Prabowo Subianto telah menginstruksikan pembatalan kebijakan tersebut pada 4 Februari, dampaknya sudah terlanjur dirasakan masyarakat. Pantauan di lapangan menunjukkan antrean panjang warga di sejumlah pangkalan resmi demi mendapatkan gas melon.
Di kawasan Untung Suropati, Kelurahan Karang Asam Ulu, Kecamatan Sungai Kunjang, warga mulai kesulitan mendapatkan gas elpiji 3 kg sejak seminggu terakhir. Supartinah, seorang ibu rumah tangga, mengaku harus berkeliling dari satu pengecer ke pengecer lain untuk mendapatkan tabung gas.
“Biasanya di pangkalan juga antre panjang. Kadang sudah antre lama, tetap tidak kebagian,” keluhnya.
Hal serupa dialami Badra, warga Sungai Kunjang, yang menyatakan stok gas 3 kg di daerahnya sudah kosong sejak Minggu lalu. Jika pun tersedia di tingkat pengecer, harga yang dipatok melambung tinggi, berkisar antara Rp 45 ribu hingga Rp 50 ribu per tabung.
“Gas masih ada di beberapa tempat, tapi harganya mahal. Kalau di pangkalan lebih murah, tapi antreannya panjang sekali,” ujar Badra.
Kenaikan harga yang signifikan ini diduga tak lepas dari aksi spekulan yang menimbun gas bersubsidi demi meraup keuntungan lebih besar. Badra pun mencurigai adanya oknum yang sengaja menimbun stok gas untuk dijual dengan harga lebih tinggi.
“Kemungkinan ada yang menimbun lalu dijual mahal. Kami, masyarakat kecil, jadi semakin sulit mendapatkan gas,” imbuhnya.
Kondisi ini juga dialami Sumiati, seorang pedagang gas eceran di Kelurahan Bukuan, Kecamatan Palaran. Sebelum kebijakan larangan penjualan di pengecer berlaku, ia biasa menjual gas elpiji 3 kg seharga Rp 25 ribu hingga Rp 27 ribu per tabung. Namun, kini stok gas di kiosnya kosong.
“Saya sudah tidak dapat stok dari agen sejak lama. Padahal, kalau langka seperti ini, saya pun kadang beli eceran dari orang lain,” ungkap Sumiati.
Sumiati juga menyoroti ketidakjelasan informasi mengenai distribusi gas elpiji 3 kg. Hingga kini, ia belum mengetahui pangkalan-pangkalan resmi di Kecamatan Palaran yang ditunjuk sebagai titik penjualan.
“Saya tidak tahu harus cari ke mana. Gas di dapur tinggal satu, kalau habis nanti mau masak pakai apa?” katanya dengan nada pasrah.
Meski kebijakan larangan penjualan gas elpiji 3 kg di pengecer telah dibatalkan, namun distribusi yang belum stabil masih menjadi kendala utama bagi masyarakat. Warga berharap pemerintah segera memastikan pasokan kembali normal agar harga gas bersubsidi tidak semakin memberatkan rakyat kecil.
Kondisi ini menjadi alarm bagi pemerintah dan pihak terkait untuk memperketat pengawasan terhadap distribusi gas elpiji bersubsidi agar tepat sasaran dan tidak dimanfaatkan oleh spekulan. Kejelasan mengenai pangkalan resmi dan mekanisme distribusi yang lebih transparan diharapkan mampu mengatasi kepanikan yang terjadi di masyarakat.
Masyarakat mendesak pemerintah segera bertindak agar kelangkaan ini tidak berlanjut dan harga gas elpiji 3 kg kembali stabil. Dengan pengawasan ketat dan distribusi yang jelas, diharapkan subsidi dapat benar-benar dirasakan oleh mereka yang berhak. (ARD)
Disadur dari kaltimfaktual
Discussion about this post