GoCSRKaltim – Rapat Kerja Nasional (Rakernas) Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) ke-VIII resmi dibuka di Desa Kedang Ipil, Kecamatan Kota Bangun, Kabupaten Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur, pada Senin, 14 April 2025. Acara pembukaan berlangsung khidmat di wilayah komunitas Masyarakat Adat Kutai Adat Lawas Sumping Layang, dan menjadi momentum konsolidasi penting bagi perjuangan hak-hak Masyarakat Adat di tengah tekanan pembangunan berskala besar.
Pembukaan Rakernas AMAN VIII ditandai dengan pemukulan gendang adat oleh Ketua Adat Lawas Kutai, Murad, didampingi oleh Sekretaris Jenderal AMAN Rukka Sombolinggi, Ketua Dewan AMAN Nasional Stefanus Masiun, serta para pimpinan organisasi sayap AMAN seperti BPAN, Perempuan AMAN, dan PPMAN.
Dalam sambutannya, Murad menyampaikan rasa terima kasih kepada AMAN atas kepercayaan yang diberikan kepada komunitas Kedang Ipil sebagai tuan rumah pelaksanaan Rakernas. Ia menyambut para delegasi dari seluruh penjuru nusantara dan menegaskan pentingnya menjaga eksistensi Masyarakat Adat sebagai pemilik sah hutan dan tanah.
“Masyarakat Adat sudah ada sebelum negara lahir. Mari kita perkuat posisi kita demi keberlanjutan dan keadilan,” ujar Murad.
Murad juga menyinggung kondisi terkini hutan adat mereka yang semakin menyempit akibat investasi skala besar. Ia berharap Rakernas ini dapat menjadi titik balik bagi Masyarakat Adat Kutai untuk bangkit mempertahankan hak-haknya.
Menguatkan Ketahanan Komunitas Adat di Tengah Gempuran Pembangunan
Ketua Panitia Rakernas AMAN VIII, Yoga Saiful Rizal, menekankan bahwa kegiatan ini mengusung tema “Perkuat Resiliensi Masyarakat Adat di Tengah Pembangunan yang Merusak.” Menurutnya, tema tersebut merupakan bentuk refleksi dan respon terhadap berbagai bentuk ketidakadilan dan eksploitasi terhadap ruang hidup komunitas adat.
“Ini bukan sekadar pertemuan. Ini adalah konsolidasi gerakan, penguatan solidaritas, dan peneguhan arah perjuangan,” tegas Yoga.
Yoga juga menyampaikan bahwa Rakernas akan berlangsung selama tiga hari dan diikuti oleh lebih dari 500 peserta, termasuk perwakilan dari 2.596 komunitas adat yang tergabung dalam AMAN. Agenda kegiatan mencakup diskusi strategis, sidang internal, hingga penyusunan arah kebijakan organisasi ke depan.
Pemilihan Kedang Ipil sebagai lokasi Rakernas dinilai sangat strategis karena wilayah ini merupakan salah satu benteng terakhir pelestarian adat dan budaya Kutai. Yoga menggarisbawahi pentingnya menjaga identitas dan warisan budaya leluhur di tengah arus pembangunan modern.
IKN dan Ancaman Nyata bagi Ruang Hidup Masyarakat Adat
Salah satu isu sentral dalam Rakernas kali ini adalah pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN) yang dinilai telah mengancam eksistensi Masyarakat Adat di Kalimantan Timur. Dalam sesi dialog publik, Yati Dahlia, perwakilan Masyarakat Adat dari komunitas Balik Sepaku, mengungkap dampak langsung pembangunan IKN terhadap kehidupan mereka.
“Kami kehilangan tanah, kehilangan air bersih, kehilangan ruang hidup. Bahkan kami dipaksa hidup di luar identitas kami sendiri,” ujarnya dengan penuh keprihatinan.
Yati juga menyoroti absennya mekanisme ganti rugi yang adil serta kurangnya konsultasi publik dalam proses pembangunan IKN. Ia menyebut bahwa banyak warga terpaksa meninggalkan kampung halaman mereka dan hidup terpisah dari keluarga besar.
Pernyataan Yati ditanggapi langsung oleh Deputi Sosial Budaya Otorita IKN, Alimuddin, yang menyangkal adanya penggusuran oleh pihaknya. Ia menyebut konflik lebih banyak terjadi antara masyarakat dan perusahaan. Namun, testimoni warga adat menunjukkan adanya kesenjangan besar antara narasi pembangunan hijau yang digaungkan dan kenyataan di lapangan.
AMAN: Menolak Lupa, Menolak Hilang
Sekretaris Jenderal AMAN, Rukka Sombolinggi, dalam pernyataannya menegaskan bahwa Masyarakat Adat tidak pernah anti terhadap pembangunan. Namun, pembangunan yang eksploitatif dan mengabaikan hak-hak adat justru menempatkan mereka sebagai korban yang tak terlihat.
“IKN adalah salah satu contoh nyata bagaimana ambisi pembangunan bisa menghapus ruang hidup dan identitas Masyarakat Adat,” tegas Rukka.
Menurutnya, perjuangan Masyarakat Adat semakin kompleks karena tumpang tindih regulasi, ketidaktegasan negara dalam melindungi hak adat, serta mandeknya legislasi RUU Masyarakat Adat.
Hal senada disampaikan oleh akademisi Fakultas Hukum UGM, Yance Arizona, yang menyebut bahwa resistensi merupakan bentuk perlindungan sah yang harus dilakukan oleh komunitas adat. Ia mengajak seluruh elemen Masyarakat Adat untuk memperkuat posisi politik dan hukum mereka di tengah arus otoritarianisme dan ketidakadilan pembangunan.
“Tanah bagi Masyarakat Adat bukan hanya aset, tapi juga identitas. Tanpa tanah, mereka kehilangan akar,” pungkasnya.
Momentum Kebangkitan dan Perlawanan Kolektif
Rakernas AMAN VIII bukan hanya menjadi ajang temu dan konsolidasi organisasi, tetapi juga simbol kebangkitan kolektif Masyarakat Adat. Dari Kedang Ipil, suara perlawanan terhadap ketidakadilan pembangunan bergema, membawa pesan kuat bahwa Masyarakat Adat Indonesia siap menjaga bumi, hutan, dan budaya mereka.
AMAN menegaskan bahwa perjuangan ini belum usai. Dengan kekuatan solidaritas, kearifan lokal, dan semangat menjaga bumi, Masyarakat Adat siap melangkah bersama menuju masa depan yang adil dan berkelanjutan.




Discussion about this post