Catatan Peneliti Nusantara Strategic House,
Ismail
Beberapa bulan terakhir ini kita sering menemukan antrean kendaraan roda dua dan roda empat yang hendak mengisi bahan bakar di SPBU. Hal tersebut menjadi pemandangan yang sangat lumrah dan mudah ditemukan di wilayah kabupaten dan kota, tidak terkecuali di Samarinda.
Bahan bakar jenis petralite dan solar yang disubsidi pemerintah menjadi barang yang sulit ditemukan, terkecuali di jam-jam tertentu. Hal itulah yang menyebabkan masyarkat rela memburu bahan bakar bersubsidi tersebut.
Kondisi tersebut menjadi perhatian pemerintah, bahkan disuatu kesempatan Presiden Jokowi menyampaikan curahatan bahwa kebijakan pemerintah untuk menahan harga bahan bakar minyak (BBM) semakin berat karena jumlah subsidi yang digelontorkan bukan besar, tetapi besar sekali. Bahkan bisa dipakai untuk bangun Ibu Kota Negara (IKN), lantaran subsidi itu sudah mencapai Rp 502 triliun, jika melihat hampir seluruh negara mengalami permasalahan ketidakstabilan baik itu ekonomi maupun kebutuhan pokok, mengingat pemulihan kembali pasca Covid-19 membutuhkan proses untuk meningkatkan kestabilan di suatu negara.
Menurut pengamat ekonomi energi Dr Fahmy Radhi, MBA, subsidi yang dilakukan pemerintah dikarenakan minyak dunia mencapi $ 105 per barrel, sedangkan asumsi ICP (Indonesia Crude Oil) APBN ditetapkan sebesar US $ 63 per barrel. Selisih ICP dengan harga minyak dunia itulah yang merupakan subsidi menjadi beban APBN, akibat kebijakan pemerintah tidak menaikkan harga BBM.
Dalam kesempatan jumpa pers, Menteri Keuangan Sri Mulyani menyampaikan angka subsidi yang digelontorkan oleh pemerintah sangat besar dan masih jauh dari kata cukup dan bepotensi akan menambah Rp 195 trilun lagi dengan trend harga minyak yang belum stabil dan volume konsumsi masyarakat. Apabila pemerintah tidak menyediakan penambahan subsidi Rp 195 triliun maka akan dimasukan di APBN Tahun 2023, hal tersebut akan mengakibatkan defisit APBN di atas 3% yang saat ini pemerintah menjaga angka defisit APBN di bawah 3%.
Di sisi lain jika subsidi BBM terus dilakukan, maka alokasi anggaran tidak akan cukup untuk subsidi kebutuhan energi lain selain BBM.
Pemerintah juga perlu membuat aturan yang jelas terhadap persoalan tersebut terutama siapa pengguna yang berhak atas BBM subsidi, saat ini ratusan triliun dikeluarkan pemerintah sasaranya ialah kelompok yang relatif mampu itulah yang terjadi di lapangan, sehingga yang tidak mampu tidak dapat menikmati dan menyebabkan kesenjangan yang semakin berjarak.
Sudah saatnya pemerintah tegas, mungkin salah satunya menentukan pengguna BBM subsidi hanya untuk kendaraan angkutan barang dan penumpang maksimal roda enam dengan nomor polisi plat kuning. Dari beberapa uraian singkat tersebut semoga dapat menjawab mengapa BBM subsidi perlu disesuaikan.
Merdeka adalah satu hal, sementara sejahtera adalah hal lain, memang benar negeri kita belum se-sejahtera yang kita ingin, belum se-sejahtera yang kita mau, tapi sudikah kita untuk berkorban demi anak cucu kita penerus bangsa ini . (bom)
Discussion about this post