MENTERI BUMN telah mengesahkan Peraturan Menteri PER-05/MBU/04/2021 tentang Program Tanggung-Jawab Sosial Lingkungan (TJSL) BUMN. Dalam peraturan Menteri yang baru ini, istilah PKBL (Program Kemitraan dan Bina Lingkungan) tidak digunakan lagi, melainkan diganti menjadi TJSL (CSR/Corporate Social Responsibility).
Peraturan Menteri BUMN ini dapat membuat BUMN Indonesia secara ‘resmi’ menjadi global citizen dalam upaya mencapai Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) melalui CSR, membuat CSR terintegrasi dalam strategi bisnis, mengikuti kesepakatan dunia seperti ISO 26000 tentang Tanggung-Jawab Sosial dan ISO 31000 tentang Manajemen Risiko.
Merupakan suatu kehormatan, pada Maret-November 2020 saya diminta terlibat dalam perumusan draft Permen ini, serta ‘Grand Design TJSL’ bagi BUMN. Maka saya ingin menyoroti terobosan inovatif dari Permen ini, khususnya. Pertama, definisi TJSL. Kedua, penciptaan nilai berbagi (Creating Shared Value/CSV). Ketiga, TJSL berdasarkan analisa risiko bisnis. Keempat, komite TJSL. Kelima, penanganan kredit bermasalah. Keenam, kemitraan. Ketujuh, koperasi, dan kedelapan komunikasi TJSL.
Definisi TJSL, adalah komitmen perusahaan mencapai SDGs, terukur dampaknya dan bagian dari pendekatan bisnis perusahaan (Pasal 1, no.12). Jadi, ukurannya bukan lagi berapa dana yang dialokasikan dan jumlah program. Melainkan, berorientasi pada dampak dan perubahan yang diciptakan (Pasal 4). Hal ini, memotivasi BUMN untuk mengarahkan dampak kegiatan TJSL menuju pencapaian target dan indikator SDG.
Prinsip TJSL, salah satunya adalah terukur dampaknya, menciptakan nilai tambah bagi pemangku kepentingan dan perusahaan (pasal 4). Hal ini mendorong TJSL menciptakan nilai berbagi (shared-value), seperti konsep Creating Shared Value (CSV) yang diperkenalkan oleh Michael Porter dan Mark Kramer tahun 2011.
Singkatnya, CSV merupakan CSR, yang memberikan dampak langsung ke dalam rantai bisnis perusahaan. Maka, TJSL BUMN dapat berbentuk program untuk mempersiapkan masyarakat menjadi pemasok dan pekerja bagi perusahaan, atau memberi nilai ekonomis pada limbah aktivitas bisnisnya melalui pemberdayaan masyarakat. Kemudian, dapat dijual atau menjadi bahan baku bagi perusahaan. Seperti yang dilakukan oleh PLN dengan mengubah limbah FABA (Fly Ash dan Bottom Ash) menjadi batako, dengan memberdayakan masyarakat, dan mengubah limbah menjadi pelet, untuk pengganti batu-bara sebagai bahan bakar operasi perusahaan.
Dalam pasal 4 dan 7 disebutkan, prinsip dan perencanaan TJSL harus berdasarkan analisa risiko dan proses bisnis. Ini konsisten dengan definisi pada kesepakatan dunia ISO 26000, tentang tanggung-jawab sosial, yakni bertanggung-jawab atas dampak keputusan dan aktivitas terhadap lingkungan hidup dan masyarakat.
Selain itu, TSJL merupakan bagian dari manajemen risiko, pada ISO 31000, yang menyatakan terdapat dua jenis risiko, yakni negatif (ancaman) dan positif (peluang). Sehingga, melalui TJSL perusahaan dapat memanfaatkan peluang dan mempersiapkan penanganan ancaman.
Pelaksanaan TJSL yang holistis, dicapai melalui ketentuan pembentukan komite TJSL di level perusahaan induk, maupun BUMN sendiri (pasal 21 dan 24). Di sinilah BUMN dapat menjalankan TJSL secara holistis. Tugas Komite TJSL, adalah, melakukan koordinasi antarunit/direktorat (pasal 24, ayat 3.a). Sehingga, seluruh unit dapat menganalisa dampak dari aktivitas masing-masing kepada lingkungan hidup dan masyarakat. Lalu, menganalisa risiko yang akan timbul, jika tidak dihiraukan, untuk kemudian menyusun program TJSL bersama untuk bertanggung-jawab atas dampak tersebut.
BUMN tetap wajib memberikan modal pinjaman kepada masyarakat. Namun, tidak lagi disebut program kemitraan, melainkan ‘Program Pendanaan UMK’, yakni Usaha Mikro dan Kecil belum ‘bankable’ (pasal 10, 12, 14, 15, dan 16). Menariknya lagi, pinjaman ini dapat disalurkan melalui kerja sama dengan BUMN yang memiliki bisnis sebagai lembaga pembiayaan, dan perbankan, atau memiliki kemampuan dalam menyalurkan pinjaman.
Maka, BUMN nonbank dapat bekerja sama dengan Bank BUMN untuk melaksanakan TJSL ini. Perusahaan juga dapat menggolongkan kinerja pinjaman untuk memutuskan apakah akan melakukan penjadwalan kembali (rescheduling), atau penyesuaian persyaratan (reconditioning).
Dalam pasal 11 disebutkan, salah satu mitra binaan UMK adalah koperasi. Pembentukan koperasi yang baik tata-kelola dan manajemennya, dapat merupakan exit strategy dari CSR perusahaan. Dengan siapnya koperasi, maka perusahaan bisa berhenti memberikan modal. Karena, anggota bisa meminjam dari koperasi, serta, penekanan biaya dapat dilakukan, karena pembelian bahan baku dapat lebih murah melalui koperasi, akibatnya UMK dapat menetapkan harga jual yang bersaing.
Komunikasi TJSL diatur pada pasal 27, maka BUMN wajib mengalokasikan pendanaan untuk melakukan kegiatan publikasi atas keberhasilan, maupun lessons-learned dari program TJSL. Selain itu diatur, bahwa komunikasi wajib menekankan pada dampak yang tercipta. Sehingga, bukan jumlah/output yang dikomunikasikan ke pihak eksternal maupun internal.
Hal ini, membuat BUMN harus mengukur dampak yang tercipta dari program TJSL. Adapun dampak dapat diukur menggunakan banyak metode. Salah satunya adalah, menggunakan SROI (Social Return on Investment). Perhitungan SROI inipun, kini diwajibkan oleh Permen Lingkungan Hidup dan Kehutanan No 1/2021 melalui penilaian ranking PROPER. Jadi BUMN dapat sekaligus memenuhi kewajiban untuk mendapatkan ranking PROPER yang lebih baik.
Dengan menjalankan Permen ini, BUMN dapat menjadi ‘role-model’ pelaksanaan TJSL di Indonesia, bahkan dunia, dan CSR tidak lagi dipelesetkan menjadi : ‘Cuma Soal Rupiah, Cuma Sosial Ranahnya ataupun Candu Sandera dan Racun’.
Sumber: mediaindonesia.com
Discussion about this post